DALAM penglihatan saya selama ikut tahapan pemilu beberapa kali, baru pemilu 2014 ini yang benar-benar kisruh. Bukan chaos secara pergerakan massa pendukung, tapi benar-benar yang namanya agitasi propaganda demikian masiv diluncurkan, masing-masing tim suksesnya. Secara kasat mata, permainan psywar, agitasi kepada pendukung lawan, dan propaganda hitam putih, digeber di semua lini. Apalagi kini, divisi social media digarap dengan gila-gilaan. 

"ajang pencarian bakat ini, terseret dalam kumparan politik pragmatis?
ajang pencarian bakat ini, terseret dalam kumparan politik pragmatis?

PERSAINGAN [kalau tidak disebut ‘pertempuran’] juga kental di media massa, baik televisi, cetak, online, hingga media-media lain yang tidak terdeteksi. Bahkan rumornya, kalau salah satu calon tidak terpilih, bakal ada chaos. Meski dari hati yang paling dalam, saya tidak memercaya itu. Karena saya meyakini, siapapun kandidatnya, mereka pasti –betul, pasti!—tidak ingin bangsa yang dicintainya, meleleh hanya karena perbedaan pilihan.

Sudah banyak yang ngebahas soal itu. Saya mencoba mengamati beberapa hal yang mungkin luput dari perhatian. Belakangan, ketika kasus Ahmad Dhani yang mengenakan seragam nazi dan mengambil part lagu ‘We Will Rock You’ dari Queen untuk theme song kampanye muncul di media, saya mencoba mencerna apa yang menarik dari lagu tersebut dan mengapa jadi perhatian. Sebagai musisi yang –konon—kerap mencipta lagu dengan mengambil beberapa part-part lagu yang sudah ngetop dan digabung-gabung jadi lagu yang enak, Dhani memang “sukses” membuat orang memperhatikannya.

Dan ketika jadi topik meluas, persetan dengan protes Brian May dari Queen, persetan hujatan dari pendukung calon yang tidak didukungnya, dan persetan dengan orang-orang yang menyebutnya tidak punya empati dengan kekejaman nazi.  Esensi itu saja. Dan Anda yang rada “sebah” dengan perilaku pentolan Dewa 19 itu, sebenarnya hanya memberikan energi kepada Dhani dengan berkomentar, bahkan mencaci.

Kemudian ada hal lain yang membetot perhatian saya, ketika dalam klipnya ada Nowela, kampiun Indonesian Idol 2014, Virzha sang juara III dan Hussein, si runner up. Mereka jadi bagian dari kliup yang menghebohkan itu. Pertanyaan saya, sejak kapan Indonesian Idol jadi bagian dari sebuah pertarungan politik? Belum ada yang mempertanyakan hal itu. Apakah ada catatan khusus, bahwa juara atau peserta Indonesian Idol “harus” secara politis, terhubung dengan pilihan politis manajemennya? Kalau terlibat dengan Dhani, apakah ada catatan harus terkoneksi dengan pilihan politik  jurinya?

"baru mentas jadi penghibur, sudah diseret ke politik praktis."
baru mentas jadi penghibur, sudah diseret ke politik praktis.”

Saya mahfum, kalau pemilik televisi [RCTI] sudah anggota partai dan berpolitik.  Dan saya juga mahfum ada ‘anjuran’ untuk memilih sama dengan pilihan penggede televisi tersebut. Kalau sebatas anjuran dan tidak ada sanksi apapun, tentu tidak akan jadi masalah. Persoalannya, “anjuran” itu buntutnya, disertai dengan sedikit tekanan. Kasus produser berita di televisi yang sama, rasanya bisa jadi contoh. Tapi untuk ajang hiburan sekelas Indonesian Idol, masuk dalam kumparan politik pragmatis, adalah sebuah blunder.

Sebagai jurnalis, saya menyayangkan hal itu. Kalau kemudian berkilah bahwa itu adalah pilihan pribadi, rasanya kok jadi lucu. Karena ketika menjadi kampiun, otomatis apapun hal yang mereka lakukan, harus sepengetahuan dan persetujuan manajemen. Tapi siapa bisa menolak ‘anjuran’ itu bukan?

Kalau kemudian menjadi lahan basah untuk sedikit digelindingkan ke ranah politik, karena ratingnya tinggi, saran “bodoh” saya adalah, jangan bikin ajang Indonesian Idol sebagai kontes nyanyi, tapi bikin saja ‘Capres Idol’.  Mau blunder, mau kelihatan tolol, mau kelihatan pinter, atau mau ditekan-tekan oleh petinggi, sah-sah saja, karena memang acaranya politis. Tapi Indonesian Idol? So stupid…kasihan Nowela, Hussein dan Virzha….