MARI bicara soal kecantikan. Laki-laki mana sih yang tidak menoleh melihat wajah cantik? Atau perempuan mana yang tidak ingin disebut cantik? Cantik itu seperti apa? Simak deh pendapat Hendro –sebut saja begitu– seorang wartawan majalah perempuan. Buat cowok ini, cantik menurutnya adalah cewek itu harus tinggi, kulit putih, rambut lurus dan tubuh proporsional. Benarkah?

Saya –penulis– adalah seorang laki-laki. Kecantikan menurut versi laki-laki, adalah kecantikan stereotype pasaran yang betul-betul dimodifikasi oleh media habis-habisan. Tidak ada media yang menampilkan sampul majalahnya secara ekstrem dengan sosok perempuan [mungkin juga laki-laki] yang ” tidak lazim”. Lazim disini masih dalam perspektif media. Tidak banyak media yang secara “nekat” dan “revolusioner” memajang sosok yang gendut, berkulit hitam, atau rambut keriting. Jadi, cantik itu masih berkutat fisik yang indah.

Tapi bagaimana kalau saya sodorkan data, hanya 1 % perempuan Indonesia yang merasa dirinya cantik? Tidak percaya? Penelitian yang digelar oleh Harvard University ini digagas secara global karena melibatkan sekitar 11 negara, termasuk Indonesia, dan mengajak sekitar 2000 responden.

Rupanya, mereka [baca: perempuan] begitu kuat terindoktrinisasi, betapa cantik itu harus utuh secara fisik, dari atas sampai bawah. Seorang tokoh feminis bernama Naomi Wolf pernah menulis buku berjudul The Beauty Myth: How Images of Beauty Are Used Against. Menurut Wolf, banyak perempuan rela menderita dengan melakukan diet dan menghabiskan banyak waktu untuk merawat tubuhnya agar tetap langsing, indah dan cantik. Personifikasi cantik itulah yang membuat perempuan [di Indonesia] selalu merasa tidak cantik. Padahal, mungkin secara fisik, sudah seperti bidadari dari khayangan.

Media juga kental mencitrakan kecantikan dengan segala sesuatu yang ideal dan indah.-indah saja. Diluar yang dicitrakan, perempuan tidaklah cantik. Jadi, melihat perempuan tanpa citra idela tadi, sama saja mengaakan dia tidak cantik. Mau jeng?

Dalam kaitan ini, laki-laki melihat kecantikan dengan tolok ukur penilaian terhadap perempuan yang seksi, indah, wangi saja. Selebihnya, tolok ukurnya jelas, perempuan itu tidak cantik. Dalam teori Edward Lison, dijelaskan pada dasarnya komposisi tubuh manusia 30% adalah animal. Dari runtutan sejarah, manusia adalah primata atau kera. Sedangkan 70% menyangkut dari sisi karakter pribadi, sosial, budaya, dan yang paling tinggi adalah religius. Kalau merunut dari teori Lison, seorang laki-laki melihat wanita cantik, secara naluri air liurnya akan keluar. Itu artinya ada daya tarik tertentu dalam tubuh wanita.

Apakah dengan begitu, laki-laki kemudian mengkondisikan dirinya sebagai sosok yang punya hak menentukan arti kecantikan perempuan? Seorang feminis Australia, Germaine Greer dalam bukunya The Female Enouch mengatakan bahwa sebenarnya banyak perempuan tidak menyadari keunikan dirinya dan membiarkan tubuhnya didefinisikan oleh pihak lain terutama kaum laki-laki. Perempuan tidak harus selalu menjadi ideal seperti yang diidamkan laki-laki. Satu pernyataan yang cukup tajam dari Greer adalah tubuh [perempuan] seharusnya menjadi media bagi perempuan untuk keluar dari ketertindasan, tekanan yang membuat dirinya terpinggirkan.

Bebas dari ketertindasan disini, menurut penulis, menjadi cantik itu seharusnya berkorelasi dengan perasaan enjoy. Ketika perempuan enjoy dengan dirinya yang hitam, berambut keriting, bertubuh pendek, atau tak punya dada montok, saat itulah dia cantik. Persepsi orang lain mungkin berbeda, tapi kecantikan itu boleh saja menjadi milik si perempuan tadi.

Disadari atau tidak, sebenarnya setiap masa itu punya persepsi kecantikan idel yang berbeda-beda. Ketika masa renaissance, perempuan bertubu tipis atau twiggy, adalah sosok yang diidamkan. Tapi masa victoria, perempuan yang padat berisi dengan dada besar, disebut kecantikan yang ideal. Memasuki abad 21, kecantikan mulai diarahkan seragam oleh kekuatan besar media. Hasilnya, awal 80-an sampai sekarang, cantik ideal itu sangat stereotype. The Beauty is Wealth.

Apakah salah menjadi cantik fisik? Tentu saja tidak. Tapi perhatikan soal kepuasan kecantikan yang dimiliki. Dari hasil penelitian di atas, wanita Filipina, 87% diantaranya, menyatakan bahwa mereka puas dengan kecantikan yang dimiliki. Sementara, wanita Indonesia, Jepang dan Korea memilih ‘sangat tidak puas’ dengan kecantikan yang mereka miliki. Apabila ditelaah lebih lanjut, khususnya wanita di Bandung, ternyata mempunyai tingkat kepuasan jauh lebih rendah dibandingkan mereka yang berada di Medan dan Jakarta akan kecantikan yang dimiliki.

Saya adalah laki-laki. Dari kecil, saya dan mungkin juga Anda, sudah masuk wilayah stereotype yang kuat. Bahwa perempuan harus di dapur dan laki-laki pergi ke sawah bekerja keras. Saya mungkin juga laki-laki jalang. Yang memaknai kecantikan secara lahiriah saja, melihat fisik indah saja sebagai sebuah komoditi. Mata jalang saya sering memandang “liar” pada perempuan yang menurut saya menarik secara seksual.

Real Beauty memang tak bisa ditemukan secara mata lahir. Mata hati lebih jeli melihatnya. Tidak gampang menemukan kecantikan sejati dalam sekerjab. Termasuk lewat mata jalang saya. Real beauty adalah menikmati kekurangan dan kelebihan diri sendiri. Perempuan, maafkan mata jalang saya…