APA yang Anda harapkan, kalau mendengar seorang Iwan Fals merilis album baru? Persepsi bahwa musisi ini identik dengan kritik sosial, kaum marjinal, dan orang pinggiran, masih kuat sampai detik ini. Meski tentu saja Iwan Fals kini sudah menikmati kemapanan secara popularitas, materi dan [kini] religiusitas.

"iwan fals kembali menggelisahkan penggemarnya"
“iwan fals kembali menggelisahkan penggemarnya”

SAYA awalnya menyebutnya semacam kegelisahan, ketika beberapa album Iwan Fals terakhir, lebih banyak berceloteh soal cinta, hubungan antar manusia, dan manusia dengan alam. Ada semacam perubahan sudut pandang yang mungkin karena pengaruh usia dan pengalaman hidup juga.

Bukan lagi sebagai “pemberontak” dengan kredo “suara tak bisa dibungkam dan memburu seperti kutukan” lewat lagu-lagunya yang sarkastis, nyinyir dan sedikit meresahkan. Kini, Iwan Fals tampaknya lebih “cerdik” menyikapi kondisi dan lebih banyak bertutur tentang keseimbangan hidup.

Menyitir pendapat terakhir penyanyi bernama asli Virgiawan Listanto itu, soal tuntutan harus bikin lagu kritik atau tidak, dirinya sudah ‘dol’, enggak tahu mana kritik mana bukan. “Saya berekspresi saja. Tangung jawab saya hanya menghayati kehidupan, dan mengekspresikan apa itu cinta dan kritik sosial,” kata Iwan. Ada semacam fase yang dilewati, fase kemarahan dan perlawanan. Kini fase “petunjuk” hidup baru.

Album terbaru Iwan Fals bertajuk RAYA. Ini semacam “hutang” dari Iwan untuk anak bungsunya. Karena setiap anaknya, almarhum Galang Rambu Anarki dan Cikal Rambu Basae pun dibuatkan lagu dan album. Diluar filosofi raya sebagai sebuah matra besar semesta, yang dilinierkan dengan 18 lagu yang dipajang dalam 2 CD ini. Catatan kritis pertama dari album ini saya senderkan pada kover album. Meski terlohat elegan dengan font warna emas, tapi harus membuat mata menyipit karena tidak terbaca. Latarbelakang yang cokelat dan sedikit kuning, nyaris serupa dengan font judul.

Saya mulai dari CD B. Diawali dengan lagu ‘Api Unggun’ yang intronya amat minimalis. Harmonika saja gitu loh. Ini mengingatkan saya pada awal-awal karier Iwan Fals yang tidak terlalu rumit dengan full band. Tampaknya suasana hatinya sedang riang, karena lagu ini meski tak istimewa tapi member kegembiraan bagi pendengarnya, sembari membayangkan api unggun yang hangat. Trek kedua ‘Gadis Tani’ memperkuat asumsi saya, Iwan Fals memang sedang mencari keseimbangan manusia dan alam.

Tapi tunggu dulu. Ada lagu berjudul ‘Rekening Gendut’ di trek ke empat. Nah, kalau mau nyanyi dengan sedikit jahil, lagu ini punya sindiran yang tajam. Saya kutipkan sedikit:

……rekening gendut

rekening gendut yang bisa kentut

kebanyakan ngemil

daging rakyat dicual-cuil…..

……pns muda mungkin juga yang tua

golongan 3b sampai ke level menteri

tni polri juga tak terkecuali

entah bagaimana dengan presidennya……

Sebuah lirik sarkastis yang tajam, menggila, emosi, nyinyir, disampaikan dengan cara bernyanyi yang terdengar rileks, santai dan apa adanya. Inikah yang dibilang sudah “dol” tadi? Yang penting menyampaikan kegelisahan, meski dengan cara yang “tampaknya” menyenangkan. Mungkin saja. Saya juga terperangah dengan lagu bertitel ‘Bangsat’ yang terang-terangan bertanya “apakah kita sudah merdeka?” dengan segambreng korupsi dan koruptor yang masih terjadi dan terjadi. Keras!

Kita melipir ke CD A. Hmm, agak lucu sebenarnya menyimak bagaimana seorang Iwan Fals masih bicara cinta dengan lirik yang harusnya “tersampaikan oleh angin” kepada seseorang yang dicintai dan mencintai. Tapi okelah, bahkan seorang yang identik dengan perlawanan pun punya sisi melankolis dalam hidupnya. Lagu ‘Cinta Itu’ featuring Rosana Listanto menjelaskan soal itu.

……cinta itu sederhana

nggak neko-neko ya apa adanya

menerima segala kekurangan

mendermakan yang berlebih

nggak jelimet dan selalu bergembira…..


Simpel bukan? Atau lirik di lagu ‘Adalah’ yang masih bertutur soal cinta. Anda akan menemukan perasaan yang membuat Anda bertanya, apakah pasangan Anda sekarang, sama seperti Iwan, benar adanya?

……adalah benar bersamamu

adalah benar menyayangimu

adalah benar merindukanmu……

Tapi di CD A pun, Iwan Fals masih menyelipkan sisi ‘amarahnya’ di lagu ‘Negeri Kaya’ dan ‘Katanya’ featuring Lea Simanjuntak. Kembali ke awal, Iwan Fals kini beraksen equality, ada emosi tapi ada cinta.

Catatan Kritis:

Ada apa dengan Iwan Fals? Terasa ngawang-ngawang meski berusaha menyeimbangkan dirinya di lirik dan lagu. Yang saya cerna dari album RAYA ini, iwan Fals seperti sedang melakukan pembenahan internal dirinya. Ada sebuah prinsip yang menyatakan “Life is Wonderful Thing if You Know How to See It”. Bagaimana menempatkan lagu dan lirik gembira dengan teriak girang, namun sekaligus diingatkan, jangan lupa bersyukur.

Iwan Fals juga tampak ingin menyenangkan kebutuhan fansnya, memekik, tapi juga melembut dengan senyum, Dua payung yang tampaknya ingin direngkuhnya sekaligus. Secara musikalitas, album ini tidak punya greget aransemen yang ciamik, tapi memang itulah kekuatan Iwan Fals, kekuatan berkata-kata, bukan kekuatan komposisi.

Jangan lupa, Iwan Fals juga sudah menerapkan manajemen modern dengan membentuk perusahaan Tiga Rambu dan Fals Record untuk naungan albumnya kelak. Sedikit ngindie, lantaran kini tidak bernaung di bawah label apapun. Malah kabarnya, setiap konsernya urusan produksi juga “harus” dipegang perusahan yang dibawahi anaknya, Cikal. Kelemahan Cikal adalah komunikasi yang cenderung flat dan [agak] protektif terhadap bapaknya. Terkesan kaku jadinya.

Album ini ya harus dikoleksi, kalau memang kita “gila” dengan Iwan Fals. Tapi kalau Anda mencari keelokan aranseman, lirik yang menyenangkan, sound recording yang nyaman [dan Anda bukan fans fanatik], album ini kurang memenuhi standar nyaman tadi. Iwan Fals memang masih gelisah, tapi kini lebih tenang saja.