BANYAK yang bilang, industri musik Indonesia sekarang ini sedang mengalami fase yang paling menyedihkan dalam satu dekade terakhir. Indikasinya tak hanya soal omzet penjualan CD fisik yang menukik tajam, tapi juga menggilanya bajakan [lagi] yang kini nyaris menggerus 100 % karya anak negeri. Saya bilang nyaris, karena data terakhir yang dilansir ASIRI mencapai 98 %.

DALAM sebuah diskusi beberapa waktu lalu, terungkap juga bahwa pembajakan di Indonesia sudah merugikan negara sebesar 4,5 trilyun. Bukan main-main, karena angka itu diungkap oleh Gita Wirjawan, Menteri Perdagangan yang juga seorang musisi [pemain piano dan pemilik label musik]. “Potensi kerugian negara mencapai 4,5 trilyun per tahun,” ungkap Gita.

"jangan sampai industri musik akhirnya berakhir dengan nisan kematian"
“jangan sampai industri musik akhirnya berakhir dengan nisan kematian”

Tapi bukan soal potensi kerugian itu yang akan saya bahas. Saya ingin menyoroti bagaimana di tengah terpuruknya industri ini, masih saja ada orang yang tertarik menjadi artis dan kemudian membuat label sendiri. Dalam sebuah obrolan bersama beberapa kawan yang pernah membuat label dan bekerja di label, terungkap satu benang merah yang kalau saya simpulkan kira-kira begini: “mencari artis [baca: musisi –red] kita harus punya kemampuan psikologi, bukan hanya kemampuan seorang ahli ekonomi atau marketing!”

Pernyataan ini sejurus dengan apa yang dikatakan seorang pakar ekonomi, Giovanni Gavetti dari Harvard Business School, Amerika Serikat.  Jika saya hubungkan dengan kondisi industri musik sekarang ini, menurut Gavetti, seorang pemimpin [manajemen artis, label, atau industri yang berkorelasi], harus dapat melihat peluang yang seringkali tersembunyi atau jarak psikologisnya jauh dengan konteks industrinya saat ini.

Menjadi sangat mengherankan, ketika masih banyak bermunculan musisi, penyanyi, band atau label baru, yang hanya memanfaatkan momentum, kemudian menghilang. Saya sering menyebutnya dengan “pelaku industri kentut” – berbunyi sebentar, bau, dan sedetik kemudian hilang. Saya sering kebingungan, ketika lahir lagu-lagu yang notabene tidak punya arah yang jelas, minim kualitas dan mengandalkan eforia sesaat. Mengapa karakter tidak bermutu seperti itu dipelihara? 

"malaikat" atau "iblis" bedanya makin tipis. hati-hati saja.
“malaikat” atau “iblis” bedanya makin tipis. hati-hati saja.

Pernyataan Tompi, salah satu penyanyi yang punya “keberanian” bersuara menyimpang mungkin bisa jadi perbandingan, ”Saya imbau musisi untuk jadi personal yang cerdas, bukan jamannya lagi hanya tandatangan kontrak yang disodorkan, lalu tenggelam dalam euforia dapat kontrak dan jadi artis. Yang salah musisinya takut nggak punya label dan kelaparan. Jangan takutlah, kita yang punya musik, tanpa kita mereka nggak bisa jualan,” ujar penyanyi yang juga dokter ahli bedah plastik ini.

Ketika merasa bisa melahirkan label  dengan modal pas-pasan, sebenarnya sah-sah saja. Tapi kalau materi yang dipegang busuk, strategi promonya konvensional, dan dana yang disiapkan hanya cukup untuk bayar gaji karyawan, mendingan buka usaha yang lain saja. Daripada uang habis tidak karuan, artis juga nggak ngetop-ngetop amat. Saya pernah “nguping” obrolan musisi dan seorang pekerja label tampaknya, di sebuah kafe. Begini: “Siapkan saja uangnya, nanti kita atur biar promonya jalan dan bisa dikenal media!”

Mbahmu! Dipikirnya mudah menciptakan karya dan melahirkan nama besar dalam sekejab? Dipikirnya industri ini lampu Aladin yang tinggal gosok, request dan semua terkabul? Bahkan jin lampu Aladin masih ada  sekarang pun pasti menyerah tidak sanggup ketika “ditantang” masuk ke industri musik Indonesia. Lah kok ada yang berani-beraninya menjanjikan proses instan. Saya jamin, kalau ada yang menjanjikan proses kilat untuk ngetop, lagunya diputar cepat, diundang manggung sana-sini, itu adalah penipu!

"kita butuh perubahan!"
“kita butuh perubahan! kalau tidak, kita akan makin sekarat”

Kemudian kalian-kalian yang masih belum punya karya sendiri, diimingi-imingi masuk label, ngetop, rekaman, dan serba-serbi indah tentang industri musik yangg tampaknya gemerlap ini,  jangan jadi tolol dengan mengiyakan apapun janji-janji busuk itu.  Yang terpenting, kalau memang merasa punya bakat, tanya lagi deh diri kamu, benarkah punya bakat? Kalau hanya seolah-olah punya bakat, seolah-olah bisa jadi penyanyi, mending jangan maksain diri. Media juga menciptakan imej, bahwa menjadi terkenal itu mudah sekali, tapi jarang menjelaskan bahwa ketika terkenal sebenarnya membutuhkan tanggungjawab lain yang besar.

Sempat beredar kabar, ada label yang menerima artis tapi justru artisnya yang harus bayar, untuk promo. Nah, hal-hal seperti itu, harusnya disikapi dengan cerdas. Seperti yang pernah dikatakan oleh Marcell Siahaan dalam sebuah wawancara dengan satu majalah musik terkenal, “Entertainment Law di Indonesia masih lemah. Dan itu yang akan saya bagikan kepada siapa saja yang terjun ke industri musik.”

Jadi, “bangunlah”, jangan “tertidur” terlalu lama di industri musik ini. Industri musik kita memang sedang sakit!